Mobile Legend, Guru, dan Kecanduan ? Hal menarik yang ingin Aku tulis.
Mobile Legends Bang Bang, ini merupakan game yang dapat dimainkan menggunakan handphone dan semua orang bisa memainkan. Tidak terbatas umur, tempat, dan waktu.
Mobile Legends adalah game yang dikembangkan dan dirilis oleh Moontoon Developer yang dapat dimainkan di platform mobile android dan iOS. Game MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) ini mencuri perhatian penduduk Indonesia setelah sebelumnya ada game-game lainnya dari Supercell Developer yang sempat sukses ramai (ex, Clash Royale).
Permainan ini dimainkan oleh 10 orang yang terbagi menjadi dua tim dan keduanya saling bermusuhan untuk menghancurkan tower utama lawan.
Nah, untuk memainkan game ini, masing-masing pemain harus faham tentang 6 jenis role hero. Role hero tersebut adalah Marksman, Fighter, Assassin, Mage, Tank, Support. Setiap role memiliki banyak hero dengan skill yang berbeda-beda. Setiap role memiliki tugas yang berbeda, setiap hero dalam setiap role juga memiliki tugas yang berbeda-beda. Bahkan beberapa hero tersebut ada yang berfungsi sebagai counter/kelemahan hero lainnya.
Itu sekilas tentang macam-macam role hero. Setelah memahami role hero tersebut, pemain harus juga mengerti dan faham tentang item-item yang digunakan oleh masing-masing hero. Item-item ini terbagi menjadi 6 macam, yaitu item Attact, Magic, Defens, Movement, Jungle, Roam (ini item baru yang ter-up to date).
Jadi, bisa disimpulkan suatu tim bisa bermain dengan baik dan menggunakan hero dengan damage dan defens yang maksimal jika mampu memilih kombinasi hero dan item yang tepat untuk melawan kombinasi hero lawan. Jadi ini menarik bukan ?
Oke, lalu apa hubungannya dengan judulku yang ada guru dan kecanduan ?
Baru-baru ini ada wacana pemerintah agar untuk eSport masuk kurikulum sekolah. Waw! Gebrakan baru dan ini sungguh mengguncang psychology para pengajar. Bagaimana tidak, game merupakan salah satu hal yang jadi momok mereka untuk memfokuskan pada anak didik mereka pada pelajar. Lha kog sekarang dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.
"Ini namanya melegalkan virus buruk pada anak didik kita!" Wait, ini bukan ucapanku. Ini ucapan seorang guru yang Aku kenal baik, bahkan saat Aku kuliah, dia termasuk orang yang Aku hormati lebih dari setiap kakak angkatanku. But, Everything has change, kita punya sudut pandang berbeda. Aku masih ingin tahu kedepan bagaimana keputusan pemerintah tentang game ini yang dimasukkan ke dalam kurikulum, bagaimana kajian mereka tentang game ini jika dimasukkan ke dalam kurikulum, dan intinya Aku menunggu bagaimana keputusannya.
Dilihat dari paragraf diatas, kamu pasti tahu, ini berawal dari sosmed. Yap, betul sekali. Ini berawal dari sosmed. Kakak angkatanku ini update status seolah kesal dengan keputusan pemerintah dengan kalimat yang mungkin cukup tegas, seperti gambar di bawah ini.
Aku fokus pada kata "penyakit", jadi pemahamanku dari status kakak angkatku ini adalah game adalah penyakit. Berhubung gambar yang di share adalah Mobile Legends, Aku asumsikan Mobile Legends lah penyakit yang dimaksud (meskipun secara general, bisa jadi banyak game lainnya).
Aku mengomentari status tersebut lebih fokus pada mengkoreksi kata "penyakit", bahwa penyakitnya bukan game tersebut, kecanduannya bukan karena game tersebut, tapi karena lingkungannya yang memaksa dia lari kepada game tersebut.
Ini seperti jempol kaki yang cantengan, penyakitnya bukan jempolnya, tapi cantengnya. Kenapa kog bisa cantengan ? karena kuku jempol jarang dibersihkan dan terjadi infeksi akhirnya cantengan deh!. Jadi yang harusnya dibenahi itu orang pemilik jempol itu. Dia harus diajarkan bahwa jempol itu perlu dirawat biar nggak penyakitan.
Sama halnya dengan game, yang salah bukan gamenya, tapi orang yang memiliki game itu. Dia harus tahu bagaiman game itu digunakan dan dipakai. Game memiliki manfaat banyak, jika dimainkan secara proporsional tanpa meninggalkan tanggungjawabnya. Game melatih pemainnya untuk peka dengan sekitar dan fokus pada tujuan, game membantu pemainnya untuk tahu bagaimana menjadi satu tim dan kemudian bekerjasama, dengan game, penggunanya juga bisa melatih kejelihan lho. Jadi, yang benar itu orangnya yang perlu diajari bagaimana cara menggunakan gadget dengan bijaksana, bukan gadget -nya yang dibuang.